Senin, 01 November 2010

materi aswaja



Sejarah Terbentuknya NU
Situasi Politik Bangsa
Sebelum merdeka 17 Agustus 1945, Indonesia masuk dalam cengkrama penjajah. Yakni, Portugis, Belanda dan Jepang. Masa imperialis itu berlangsung sekitar 350 tahun. Untuk mempertahankan kekuasaannya, pemerintah colonial menghalalkan segala cara atau gelap mata. Seperti
  • Melaksanakan politik devide et impera (adu domba)-pelakunya dosa besar
  • Melaksanakan politik etis (berpura-pura baik)-munafek
  • Melakukan politik diskriminasi-dholim
  • Menipu rakyat dengan teori colonial white mans burden (orang-orang kulit putih yang mempunyai tanggungjawab)-semua punya tanggung jawab
  • Kedatangan mereka untuk mission sacree (tugas suci)-mengeruk kekayaan
  • Menanamkan nilai yang dapat menimbulkan penyakit inferiority complex (rendah diri dalam segala hal)-merusak
Akibatnya : rakyat terpecah, antar suku terbelah, antar daerah tercaik-cabik, umat seiman bertengkar. Kemudian muncul penyakit kedaerahan, penyakit kesukuan, penyakit mementingkan golongan, menyuburkan sifat kebencian, menyuburkan sifat permusuhan, kekuatan Islam lumpuh.
Pemerintah kolonial tidak hanya melakukan penjajahan militer dengan menghadirkan ribuan tentaranya ke Indonesia. Tetapi, mereka juga menjajah bangsa ini dalam segala hal. Seperti :
  • penjajahan politik
  • penjahan ekonomi
  • agama
  • penjajan social dan budaya
Akibatnya : rakyat kena wabah penyakit inferiority complex, inferior, mider atau rendah diri dalam segala hal. Sebaliknya penjajah merasa lebih superior. Rakyat juga hidup dalam serba ketergantungan dengan pemerintah penjajah.
Penjajah juga berusaha meminggirkan peran Islam dalam percaturan kehiduran sehari-hari. Strategi yang dipakai penjajah untuk meminggirkan peran Islam adalah dengan cara:
  • Memecah belah umat Islam dengan berbagai cara.
  • Islam digolongkan menjadi beberapa golongan. Seperti Islam Modern dan Islam Tradisional, Islam Liberal dan Radikal, Islam santri-priyayi-abangan.
Penjajah membuat devinisi modern yang isinya sengaja dibuat bertentangan dengan modern versi Islam.
Modern (penjajah) : Segala sesuatu yang datang dari penjajah dianggap baik dan modern. Rakyat di Belandakan dalam segala hal. Westernisasi. Atau hidup ke barat-baratan.
Modern (Islam) : Segala sesuatu yang sesuai dengan ajaran Islam. Sesuai perintah Allah dan Rosulnya Muhamad.
Tradisional/kolot/jahiliyah (penjajah) : Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan adat istiadat penjajah.
Tradisional/kolot/jahiliyah (Islam) : Segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Melanggar perintah Allah dan Rosulnya.
Sikap Para Ulama
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, ulama sebagai pewaris para nabi, memiliki peranan yang besar dalam melawan peemerintah kolonialis. Di bawah pimpinan ulama, rakyat berhasil memberikan perlawanan kepada penjajah secara heroic dan patriotic. Diantara ulama yang memimpin perlawanan kepada penjajah adalah Sunan Gunung Jati (Fatahillah/Falatehan), Sultan Agung Hanyokrokusomo dan Pangeran Diponegoro di Jawa. Imam Bonjol, Teuke Umar dan Tengku Cik Ditiro di Sumatera, Pangeran Hidayat dan Pangeran Antasai di Kalimantan. Selain itu, ada Sultan Babullah di Maluku, dan Sultan Hasanudin di Sulawesi. Sayang, perjuangan para ulama tersebut masih bersifat kedaerahan. Sehingga mudah dipatahkan Belanda.
Selain melakukan perlawanan fisi, para ulama juga melakukan perlawanan dalam bentuk lain :
- Menerapkan politik non kooperatif. Yakni, mengambil jarak pemisah dan melakukan kerjasama dalam hal apapun.
- Memperkuat basis umat, dengan mendirikan lembaga pendidikan tersendiri. Seperti pondok pesantren dan musholla. Tujuannya untuk membentengi umat dari gempuran budaya penjajah.
- Bersikap keras kepada penjajah atas perilaku penjajah yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Sehingga ulama membuat fatwa haram bagi barang siapa yang berpakaian, berbahasa, bersekolah dan bergaya penjajah. Namun, perlu dicermati bahwa fatwa haram tersebut bukan dilihat dari segi hokum diniyah, tetapi dari segi siyasah. Yakni, lebih bersifat strategi politik.
- Ulama, pemimpin rakyat, hidup bersama-sama rakyat, berjuang untuk rakyat dan membina akhlak umat.
Problematika
Akibat penjajahan yang cukup lama, sampai hari ini, pengaruh penjajah masih sangat terasa. Pengaruh penjajah masih begitu mendarah daging di kalngan bangsa ini. Seperti :
- Masih banyak masyarakat yang memiliki gaya dan perilaku seperti penjajah.
- Terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan. TK-RA, SD-MI, SMP-MTs, MA-SMA, IAIN-Universitas.
- Pengelompokan Islam masih terjadi hingga hari ini. Aliran baru masih saja bermunculan. Ahmadiyah, pengaku nabi, maupun kelompok-kelompok jamaah yang mengaku paling islami.
- Penyakit inferiority complex belum dapat disembuhkan.
- Semangat berfastabiqul khoirat lemah, segalanuya diukur dengan materi
- Sikap produktifitas dan kreatifitas lemah
- Sikap keberagamaan tidak kental, dan cenderung kering.
Kegigihan Para Ulama Mempertahankan Faham Aswaja
Pada awal abad xx, di timur tengah muncul faham baru yang dipelopori Muhamad Bin Abdul Wahab. Faham baru tersebut dinamakan faham wahab atau muwahhidini. Faham baru ini juga cepat masuk ke Indonesia. Ajaran ini berprinsip kembali pada Al-Qur’an dan Hadits untuk memberantas bid’ah dan adat istiadat dengan penuh fanatisme.
Prinsip ajaran wahabi :
  1. Hanya Allah SWT yang wajib disembah
  2. Mohon berkah kepada wali, syekh dan kekuatan ghoib adalahmusyrik
  3. Melarang menyebut nabi, wali, guru, maupun malaikat
  4. Berdoa harus langsung kepada Allah tidak lewat perantara
  5. Tidak boleh memohon syafaat kepada selain Allah
  6. Merokok hukumnya haram, bila tertangkap dicambuk 40 kali
Dengan makin berkembangnya aliran wahabi di Indonesia, sikap para ulama langsung menentang keras. Sebab, dengan berkembangnya faham wahabi dapat merusak tatanan cara berakidah umat Islam. Karena itu, para ulama berusaha mempertahankan kemurnian dan kebenaran Islam yang berhaluan ahlussunah waljamaah.
Berdiri Komiti Hijaz
Sebelum berdiri komite hijaz yang dipelopori ulama NU pada tahun 1926, di Indonesia sudah mulai timbul gejala-gejala masalah khilafiah. Waktu sudah terbentuk Centre Comite Chilafah (CCC). Dibentuknya komite khilafah sebagai reaksi atas peristiwa yang terjadi Makkah. Pada tahun 1924, raja yang berkuasa di Madinah, yakni Syarif Husain, yang bernaung dibawah kekuasaan Turki, digulingkan oleh Ibnu Saud. Kemudian Ibnu Saud yang berfaham wahabi berusaha mengadakan perubahan-perubahan secara radikal dalam soal keagamaan dan kemasyarakatan termasuk ajaran yang bersifat konservatif.
Pada tahun 1926, penguasa hijaz, akan mengundang seluruh pemimpin Islam sedunia untuk menghadiri muktamar islam. Penguasa hijaz yang berfaham wahabi selalu menggencet orang-orang yang bermadzhab empat di Makah dan Madinah. Padahal sebelumnya di dua kota itu, umat Islam menggunakan madzhab empat dalam beribadah.
Pada tahun 1924, ulama di Indonesia mengadakan konggres al-islam luar biasa di Surabaya yang dihadiri berbagai unsure organisasi untuk membicarakan khilafah di Indonesia. Tokoh yang hadir antara lain HOS Cokroamonito, KH A Wahab Hasbullah, KH Mas Mansur, KH Agus Salim, KH Abdul Halim Majalengka, K Sangaji dan R Wondoamiseno.
Kemudian tahun 1925 ulama kembali menggelar konggres al-islam di Jogjakarta. Saat itu, KH A Wahab Hasbullah usul agar utusan umat Islam Indonesia yang dikirim ke Muktamar Makkah nanti mampu mendesak Raja Ibnu Saud agar melindungi kebebasan bermadzhab di Makkah dan Madinah. Namun, sampai pada konggres al-islam di Bandung, usul yang disampaikan KH A Wahab Hasbullah belum dapat menjadi catatan konggres.
Dengan peristiwa itu, akhirnya KH A Wahab Hasbullah keluar dari kepanitiaan komite khilafah. Selanjutnya beliau bergabung dengan para ulama di Taswirul Afkar dan Nahdlotul Wathon dengan restu KH Hasyim Asy’ari untuk memutuskan dan mengirim delegasi sendiri ke muktamar dunia Islam pada bulan Juni 1926 dengan membentuk komite sendiri. Yakni, komite hijaz.
Adapun susunan pengurus komitie hijaz :
Penasehat : KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Cholil Masyhuri (Lasem)
Ketua : Hasan Gipo
Wakil Ketua : H Sholeh Syamsil
Sekretaris : Muhamad Shodiq
Pembantu : KH Abdul Halim
Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU)
Tepat pada 16 Rojab 1344 H/31 Januari 1926, KH Wahab Hasbullah bersama kiai lain, seperti KH Hasyim Asy’ari (Tebuireng), KH Bisri Sansuri (Denanyar), KH Ridhwan (Semarang), KH Raden Asnawi (Kudus), KH Raden Hambali (Kudus), KH Nawawi (Pasuruan), KH Nakhrowi (Malang) dan KH Doromuntaha (Bangkalan) membentuk komite hijaz. Pembentukan dilakukan di kota Surabaya. Dalam rapat tersebut disepakati dua keputusan penting.
  1. Mengirim KH R Asnawi Kudus ke konggres dunia islam di Makah dengan tugas memperjuangkan hokum-hukum ibadat dalam madzhab empat.
  2. Atas usul KH Mas Alwi Abdul Azis dibentuk organisasi jamiyyah Nahdlatul Ulama’ dengan rois akbarnya KH Hasyim Ays’ari dan ketua KH Hasan Gipo.
Realisasi :
Pada tahun 1929, NU baru berhasil mengirimkan dua utusan untuk menemui Raja Ibnu Saud. Yakni, KH Wahab Hasbullah dan Syekh Genaim Al Misri. Hasilnya, Raja Ibnu Saud akan tetap menghormati pelaksanaan ibadah dan pengajian oleh guru-guru empat madzhab.(slk)

Tidak ada komentar: