Kamis, 04 November 2010

LKD PMII





Fungsionalisasi Nilai-Nilai Islam
Oleh : Sholihin Hasan*)
Disampaikan pada acara LKD PMII Cabang Blora di SMA NU Menden, 28 Mei 2009
_____________________
Misi penting yang diemban Nabi Muhamad SAW sebagai utusan Allah SWT adalah untuk memperbaiki akhlak atau moralitas umat manusia serta membebaskan dari kungkungan tradisi akidah jahiliyah. Nabi ditugaskan untuk mengembalikan derajat manusia pada posisinya sebagai makhluk yang paling mulia. Yakni, sebagai kholifah di muka bumi, membangun dunia demi untuk meraih kebahagiaan dunia dan akherat.
Untuk mewujudkan hal itu, langkah pertama yang dilakukan Nabi Muhamad SAW adalah memperbaiki akidah masyarakat pada masa itu. Akidah masyarakat yang meyakini banyak Tuhan dikembalikan pada keesaan Tuhan. Yakni, Allah SWT. Sementara itu, dari sisi moralitas, Nabi melakukan perbaikian secara setahap demi setahap.
Melalui perbaikan yang tahap demi tahap itu, Nabi berusaha untuk merubah seluruh tatanan social yang menyimpang. Seperti diskriminasi, penindasan, dan kepalsuan. Di kalangan masyarakat ditanamkan dan terus digelorakan bahwa untuk melihat sesuatu itu baik atau tidak, ukurannya tidak pangkat dan derajat yang tinggi, kekayaan dan kepuasan diri, kesewenang-wenangan dan menghalalkan segala secara, tetapi kebaikan itu ukurannya adalah moralitas. Nabi berusaha melawan penindasan, ketidak-adilan, kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, serta ketimpangan.
Akhirnya, setelah melalui perjuangan yang sangat keras, selama lebih dari 22 tahun, ayahanda Sayyidah Fatimah itu berhasil merubah keadaan. Masyarkat berhasil dibebaskan dari jalan kegelapan menuju yang terang benderang, dari jahiliyah menuju modern, dari menyembah polyteis menjadi monoteis, dari amoralitas menjadi moralitas, dan dari derajat yang hina menuju derajat yang mulia.
Suami Sayyidah Aisyah tersebut berhasil membawa masyarakat pada kehidupan yang penuh kedamaian, bantu membantu, realistis, menyintai alam, dan keindahan. Prinsip-prinsip kebenaran, kesetaraan social, dan pinisp-pinsip lain yang melandasi berdirinya komunitas yang bebas dan setara, berhasil diwujudkan. Sehingga apa yang disebut bahwa Al Islamu ya’lu wa la ya’la alaihi benar-benar dapat dirasakan umat pada masa itu.
Lalu, bagaimana dengan kondisi Sekarang?
Meski tidak persis sama, persoalan yang dihadapi Nabi pada masa itu sesungguhnya juga terjadi pada sekarang. Sebab, persoalan kemiskinan, kebodohan, keterbelangan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan kedzaliman, saat ini sangat mudah untuk dijumpai. Keyakinan monoteis juga mulai terkikis. Terbukti, banyak orang mulai menuhankan selain Allah tanpa dia sadari.
Saat ini, pemeluk Islam di negei ini memang besar. Bahkan, di Indonesia pemeluk Islam menjadi mayoritas. Namun, pemeluk yang besar belum tentu bermakna besar. Sesuatu yang besar jika bermakna besar adalah lazim. Begitu juga sebalikanya, sesutau yang kecil jika memiliki makna kecil juga sebuah kelaziman. Yang tidak lazim adalah jika yang besar memiliki makna kecil dan yang kecil memiliki makna besar. Jika ada yang besar memiliki makna kecil, itu adalah kedunguan. Sebaliknya, jika ada yang kecil tetapi memiliki makna besar, itu adalah kecerdasan dalam kesyukuran.
Itulah kondisi umat Islam sekarang. Jumlahnya, mayoritas, tetapi dimainkan minoritas. Besar jumlahnya, tetapi perannya tidak signifikan. Persoalan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan pengagguran masih melilit umat. Kita ingin Islam yang besar memiliki makna yang luar biasa besar.
Tawaran Solusi
Islam sebagai ajaran, dalam realitasnya sering dipahami sebagai jargon, retorika bahkan terekploitasi untuk kepentingan sesaat. Nilai-nilai rohmatallil’alamin belum bisa diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Karena itu, sudah saatnya, kader-kader PMII segera melakukan reaktualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam agar dapat diimplementasikan dalam kehidupan riil. Sehingga Islam sebagai sebuah keyakinan betul-betul berfungsi di tengah-tengah kehidupan umat. Pendeknya, cara ini oleh DR H Eggi Sudjana MSi dikenal dengan istilah Islam Fungsional.
Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits harus bisa berfungsi di tengah masyarakat. Fungsi Islam dapat direalisasikan oleh seluruh umat, baik secara individu maupun berjamaah. Islam fungsional tidak hanya releven untuk meningkatkan cita Islam, tetapi juga kontektual di tengah-tengah masyaakat. Islam fungsional akan menjadi motor penggerak bagi seluruh umat dalam mengimplementasikan ajaran Islam di kehidupan riil. Dengan cara itu seluruh poblema yang muncul bisa dipecahkan. Sehingga masyarakat akan bisa merasakan manfaat kehadiran Islam, karena terjadi perasaan dan tindakan saling baku urus atau bantu membantu dalam hal kebaikan dan ketaqwaan.
Islam fungsional juga akan menepis penyalahgunaan Islam sebagai jargon dan retorika politik. Menurut Egi Sudjana, Islam fungsional, mengusung sembilan pilar. Yakni, ketaatan, kejujuran, keadilan, kedamaian, kesejahteraan, ketertiban, keseteraan, kebebasan dan keselamatan.
Sementara mantan Perdana Mentei Malaisia, Abdullah Ahmad Badawi (Republika, 21 Juni 2006) melukiskan Islam Fungsional dengan mengharuskan setiap muslim untuk mendemonstasikan dalam teoi dan praktek. Bahwa Islam tidaklah bertentangan dengan modernitas. Umat Islam bisa menjadi modern tanpa harus menjadi barat atau westernisasi. Ini seperti yang digambarkan Muhamad Abduh (1849-1905) : orang muslim yang modern adalah mereka yang bisa memegang Al-Qur’an dan Hadist di stau tangan, sementara tangan lainnya menggenggam iptek. Dan menurut penulis, untuk kondisi persaingan global seperti sekarang ini, umat perlu ditambah ketrampilan.
Islam Fungsional di Malaisia mengusung 10 prinsip pendekatan.
  1. Keimanan dan kesholehan kepada Allah
  2. Pemerintah yang adil dan bisa dipercaya
  3. Kebebasan dan independensi rakyat
  4. Mencari ilmu pengetahuan dengan penuh semangat dan menguasainya
  5. Pembangunan ekonomi yang berimbang dan menyeluruh
  6. Kualitas hidup rakyat yang baik
  7. Perlindungan terhadap hak-hak minoritas dan kaum perempuan
  8. Integral moral dan budaya
  9. Penyelamatan atas SDA dan lingkungan
  10. Berusaha menjaga kapabilitas pertahanan
Islam Fungsional merupakan aplikasi ajaran Islam melalui kapasitas dan otoritas yang dimiliki tiap individu yang beriman kepada Allah, Baik dari sisi akidah, syariah maupun akhlak. Kapasitas dalam implementasi Islam fungsional adalah kemampuan (ilmu) dan sumberdaya. Sedangkan otoritas adalah kemampuan untuk menyuarakan dan menegakkan Islam diukur dari wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Dari aspek kapasitas, banyak umat Islam yang faqih fiddin, faham agama, dan mengenyam pendidikan tinggi. Tetapi, mereka tidak fungsional dalam menegakkan syariat Islam. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Kemudian dari sisi otoritas, banyak umat Islam yang menjadi pemimpin pemerintahan. Sayang, keberadaan mereka kurang fungsional dalam pandangan Islam.
Karena itu, jika seluruh individu Islam bisa memfungsikan kapasitas dan otoritasnya sesuai nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam, maka umat Islam akan menjadi umat yang dihormati oleh kawan dan disegani oleh lawan. Islam yang besar juga akan bermakna besar.
Untuk mencapai itu semua, menurut Prof Dr Ir Muhamad Nuh DEA, umat Islam harus membuang stigma negative. Seperti infiority complex atau penyakit rendah diri dalam segala hal. Sebab, penyakit orang yang kalah biasanya sering menyalahkan orang lain. Seperti orang yang mencari jarum di luar rumah, padahal jarumnya jatuh di dalam kamar. Mereka tidak mau mencari jarum di kamar, disebabkan karena kamarnya gelap.
Selain itu, umat harus mengembangkan nilai keihlasan, sabar, tabah, punya ide besar dan melangkah dari yang sederhana serta setahap demi setahap. Jika kesadaran itu dimiliki masing-masing individu, maka melalui Islam Fungsional akan bisa membebaskan umat dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. (slk)
*) Penulis adalah wartawan Radar Kudus (Jawa Pos Group), Aktifis LP Ma’arif Blora

Tidak ada komentar: